Menelusuri
Asal-Usul dan Jejak Sejarah Orang Ternate
Oleh
: Busranto Abdullatif Doa, S.Pd
(…New
Editing, Pebruari 2011…)
GEOLOGIS
Pada
zaman Pleistochen, daratan pulau Ternate masih merupakan satu daratan dengan
pulau-pulau seperti; Morotai, Halmahera, Hiri, Maitara, Tidore, Mare, Moti,
Makian, Kayoa, Bacan dan sebagainya yang terletak pada rankaian gunung berapi
Zone Maluku Utara. Deretan pulau-pulau ini berada di sepanjang pantai barat
pulau Halmahera di Propinsi Maluku Utara.
Perubahan
alam yang terjadi selama ratusan-ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara
evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil di sepanjang “Jazirah tuil Jabal
Mulku“, (Istilah yang sering dipergunakan oleh Buya Hamka). Halmahera adalah
merupakan Pulau Induk dari di kawasan ini, yang menjadi dataran tertua, selain
pulau Seram di Maluku Tengah. (sumber; B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah
Ternate, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta).
Dilihat
dari sudut geologis, seperti disinggung di atas, pulau Ternate merupakan salah
satu dari deretan pulau yang memiliki gunung berapi, dari barisan garis :
”strato vulkano active at south pacific” yang melintang di kawasan Asia timur
ke Asia tenggara, dari utara ke selatan. Salah satu yang masih aktif di
kepulauan Maluku Utara adalah gunung “Gamalama” di pulau Ternate dengan
ketinggian 1.730 m. (bangsa Portugis menyebut dengan; Nostra Senora del
Rozario).
Erupsi
dari letusan gunung berapi Gamalama yang paling hebat pernah terjadi pada tahun
1608, 1635, 1653, 1840 dan 1862. Letusan terhebat yang tercatat terjadi pada
pertengahan abad ke-18, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1737 yang bertepatan
dengan 22 Dzulkaidah 1149.H yang mengakibatkan aliran lahar dari puncak hingga
mencapai laut yang dikenal sekarang dengan “Batu Angus”. (sumber; F.S.A. de
Clerq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie van Ternate, Leiden, 1890).
Dalam
jangka waktu kurang 400 tahun lebih (1538 – 1962) telah terjadi 1164 kali
erupsi larva. Letusan yang mengakibatkan kepanikan dan dan pengungsian
masyarakat Ternate moderen adalah pertama kali sejak tahun 1962, yaitu pada
tanggal 4 September 1980 yang dialami sendiri oleh penulis yang ketika itu
masih sebagai pelajar kelas 5 di salah satu Sekolah Dasar di pulau Ternate.
GEOGRAFIS
Secara
astronomis, pulau Ternate terletak pada 127,17 Bujur Timur – 127,23 Bujur Timur
dan 0,44 Bujur Timur – 0,51 Bujur Timur. Secara Topografis Pulau Ternate
berbentuk bulat kerucut (strato volcano) yang luas diagonal pulau dari arah
utara ke selatan, sepanjang 13 km dan dari arah barat ke timur sepanjang 11 km,
dengan panjang keliling pulau adalah 55 km , yang terdiri dari dataran rendah
dan lereng. Ciri topografis sebahagian besar datarannya adalah wilayah
bergunung dan daerah berbukit, terdiri dari pulau vulkanis dan pulau karang
dengan kondisi jenis tanah :
•
Rogusal : pulau Ternate, pulau Hiri dan pulau Moti
•
Rensikal : pulau Mayau, pulau Tifure, pulau Makka, pulau Mano dan pulau Gurida
Secara
Yuridis, berdasarkan Undang-Undang No.11 tahun 1999, tanggal 27 April 1999
status Kota Ternate dari Kota Administratif (Kotip) ditingkatkan dan menjadi
Kotamadya. Luas seluruh wilayah Kotamadya Ternate adalah 5.681,30 Km2, terdiri
dari;
-
Wilayah Perairan : 5.457,55 Km2
-
Wilayah Daratan : 133,74 Km2, yang mencakup 8 buah pulau, yaitu :
•
Pulau Ternate : 92,12 Km2
•
Pulau Hiri : 7,31 Km2
•
Pulau Moti : 17,72 Km2
•
Pulau Mayau : 8,5 Km2
•
Pulau Tifure : 7 Km2
•
Pulau Makka : 0,5 Km2, tidak berpenghuni
•
Pulau Mano : 0,05 Km2, tidak berpenghuni
•
Pulau Gurida : 0,55 Km2, tidak berpenghuni
-
Jarak antara pulau
•
Ternate – Hiri : 1,5 mil laut
•
Ternate – Moti : 11 mil laut
•
Ternate – Mayau : 90 mil laut
•
Ternate – Tifure : 106 mil laut
•
Ternate – Makka : 1,6 mil laut
•
Ternate – Mano : 1,6 mil laut
•
Ternate – Gurida : 106,1 mil laut
Pulau-pulau
dalam wilayah Kotamadya Ternate terletak dalam lingkup kawasan pantai barat
Halmahera, melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa yang
dilingkupi lengkung Sulawsi bagian utara. Kotamadya Ternate berbatasan dengan :
Sebelah
utara dengan Samudera Pasifik dan perairan Filipina
•
Sebelah selatan dan barat dengan Laut Maluku
•
Sebelah timur dengan pantai barat Halmahera
Secara
Ekonomis, Kedudukan kota Ternate adalah sebagai pusat pemerintahan dan pusat
perdagangan yang sangat strategis dan penting sekali di kawasan ini. Di Kota
Ternate terdapat Pelabuhan Samudera “Ahmad Yani” dan Bandar Udara “Babullah”.
Kota Ternate itu sendiri berlokasi di pesisir timur pulau Ternate menghadap pulau
Halmahera posisi ini sangat potensial. Kedudukan yang demikian ini menyebabkan
kota Ternate memiliki peranan yang sangat penting dalam ekonomi perdagangan
lintas Halmahera.
Selain
itu, letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota Propinsi Sulawesi
Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga, sebuah
persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini berkembang
dalam lajur perdagangan di daerah Maluku Utara.
GENEALOGIS
Sebagaimana
dipaparkan di atas, ada pendapat yang mengatakan bahwa pada zaman pleistochen,
setelah dataran Morotai, Ternate, Tidore, Makian, Bacan, Kayoa dan sebagainya
terlepas dengan dataran Halmahera dan membentuk pulau-pulau kecil, sebagaimana
adanya sekarang, maka telah terjadi pula migrasi penduduk pada zaman itu yang
semula berdiam di dataran pedalaman ke kawasan pantai. Hal itu dilakukan untuk
menghindari bencana alam yang diakibatkan oleh gerakan gunung berapi dan
pergeseran kerak kulit bumi yang berlangsung secara evolusi.
Pendapat
ini dilandasi argumentasi antropologi budaya, yaitu bahwa antara penduduk
pedalaman dan masyarakat di pulau-pulau, memiliki adat istiadat yang hampir
sama. Perkiraan lain adalah bahwa penduduk pribumi masyarakat di Halmahera dan
Maluku Utara pada umumnya masih satu rumpun dengan bangsa Proto Melayu dan
Netro Melayu yang sampai kini masih dapat ditelusuri jejak asal usulnya. Tapi
yang jelas, Ternate dari sepanjang Halmahera, yang membentang dari utara hingga
ke selatan tidak berada dalam garis perjalanan migrasi masyarakat purbakala di
nusantara yang datang melewati, Cina Selatan (Tonkin), melalui Phinipina terus
ke Sulawesi Utara.
MASA
Pra-ISLAM
Sejarah
Ternate pada masa pra-Islam masih belum dapat dijelaskan secara panjang lebar,
kecuali dalam aspek adat-istiadat dan kepercayaan yang hingga kini masih
dihayati oleh sebahagian masyarakat Ternate, yang dapat kita jadikan petunjuk
yang meyakinkan bahwa semasa pra-Islam, Ternate telah mempunyai sejarah
sendiri. Peninggalan Ternate pada zaman pra-Islam tidak ditemukan dalam bentuk
tulisan maupun artevak.
Seperti
yang sudah dijelaskan pada artikel-artikel sebelumnya bahwa belum agama Islam
masuk, di Ternate telah terdapat 4 kelompok masyarakat, yaitu ;
1.
Tubo, (yang mendiami kawasan puncak/lereng sebelah utara pTernate)
2.
Tobona, (yang mendiami kawasan lereng sebelah selatan di Foramadiyahi).
3.
Tabanga, (yang mendarat kawasan pantai bagian utara) dan
4.
Toboleu. (yang menempati kawasan pesisir pantai timur di Ternate)
Masyarakat
Ternate yang sejak dahulu sejak dari Raja pertama Kolano Cico alias Masyhur
Malamo (1257) hingga Sultan yang ke-48 sekarang ini Sri Sultan Mudaffar
Syah-II, telah mengalami perjalanan panjang yang merupakan mata rantai
kelangsungan sebuah komunitas yang tentunya dikikis dan dipoles oleh jaman yang
dilaluinya hingga saat ini Ternate menjadi pusat pemerintahan Propinsi Maluku
Utara.
PERAN
KESULTANAN
Setiap
pembahasan mengenai sejarah daerah Maluku Utara “the history of Moluccas” pada
umumnya berkisar pada sejarah kesultanan yang pernah berkuasa di daerah ini.
Sejarah telah mencatat, bahwa telah lama ada, empat kesultanan yang dikenal
dengan “Moloku Kiye Raha” yang terdiri dari; ”Kiye Bessi, Tuanane, Duko, se
Gapi”. Kiye Bessi kemudian bergeser ke Kasiruta di Bacan, Tuanane kemudian
bergeser ke Halmahera di Jailolo, Duko adalah Tidore dan Gapi adalah Ternate.
Keempat
kerajaan tersebut kemudian dikenal dengan; Kesultanan Ternate, Kesultanan
Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan. (urutan menurut Naidah yang
ditulis P. van der Crab, “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en
Maleischen text beschreven door den Ternataan Naidah”, Koninklijk Instituut
voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague, 1878).
Sumber-sumber
asing lain-pun menyebutkan adanya keempat kesultanan tersebut, Portugis
misalnya memberikan urutan yang sama, yang merupakan petunjuk bahwa, bahan
sumber data dan informasi banyak diperoleh dari pihak Ternate, yang mana orang
Portugis pertama kali mengadakan hubungan.
Tentu
saja sumber-sumber dari luar Ternate akan memberikan urutan yang lain pula.
Sebagai contoh misalnya, Francoise Valentijn (“Oud en Neew Oost Indien” S.
Keijzer, Amsterdam, 1862), memberikan urutan kesultanan Jailolo pada urutan
perrtama, kemudian beralih ke pihak Ternate, Tidore dan Bacan.
Sedangkan
menurut kronik kesultanan Bacan, jelaslah bahwa kesultanan Bacan menduduki
tempat pertama berdasdarkan klaim bahwa Raja Bacan pertama adalah putra tertua
dari Jaffar Saddik, dengan urutannya; Bacan, Jailolo, Tidore dan Ternate.
Bagaimanapun urutannya, yang lebih terpenting adalah bahwa semua sumber
tersebut menyebutkan nama yang sama.
Besarnya
pengaruh Globalisasi serta minimnya bahan-bahan dan tulisan tentang sejarah
daerah Maluku Utara, mengakibatkan generasi muda masa kini, apatis terhadap
pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya daerahnya sendiri. Dan lebih
disayangkan lagi adalah semakin tajamnya egoisme primordial ke-suku-an antar
masing-masing etnis yang ada di Maluku Utara dalam percaturan di bidang politik
praktis tingkat lokal, memberikan efek negatif terhadap pelestarian nilai
sejarah, adat dan tradisi dari masing-masing kelompok etnik.
LEMBAGA
KEAGAMAAN
Semua
lembaga dan jabatan yang diuraikan penulis pada pembahasan di atas disebut
dengan “Bobato Dunia“. Bobato dunia adalah semua lembaga dan jabatan yang
berhubungan dengan urusan ke-dunia-wian, yang bersifat politik, ekonomi,
sosial-budaya dan pertahanan-keamanan dan sebagainya. Sedangkan lembaga atau
jabatan yang mengurus masalah keagamaan disebut dengan “Bobato Akhirat“.
Dari
segi spirituil dan urusan keagamaan ditangani oleh suatu lembaga yang disebut
dengan Jou Lebe (Badan Syari’ah). Lembaga ini dikepalai oleh seorang yang
menjabat sebagai Kadhi. Anggotanya terdiri dari para Imam, Khatib dan para staf
pelaksana. Para pejabat di bidang keagamaan terdiri dari :
1.
Kadhi atau Kalem yaitu pejabat tertinggi dalam urusan keagamaan (Imam Agung),
membawahi 4 orang Imam Besar Kesultanan, (ditambah Imam Jawa) yang terdiri dari
:
•
Imam Jiko
•
Imam Jawa
•
Imam Sangaji
•
Imam Moti
•
Imam Bangsa
2.
Jabatan lainnya adalah para Khatib yaitu pejabat pelaksanan dakwah dan siar
Islam dibawah Imam, terdapat 6 jabatan khatib dalam struktur kesultanan. Tiap
khatib membawahi beberapa orang Modim (Muazzim). Keenam orang khatib tersebut,
terdiri dari :
•
Khatib Jiko
•
Khatib Jawa
•
Khatib Sangaji
•
Khatib Moti
•
Khatib bangsa
•
Khatib Jurutulis
Dari
para Imam dan khatib, serta para JOGURU (Kiyai dalam bahasa Jawa) inilah siar
dan dakwah agama Islam ditegakkan ke seluruh pesisir jazirah Maluku Utara,
sehingga saat ini hampir semua pesisir pulau-pulau di kawasan Maluku Utara,
Sulawesi Utara, Pantai Timur pulau Sulawesi, Seram Barat, Kailolo, Hingga
kepala burung pulau Papua (Fak-Fak, raja ampat,
dsb) tersentuh akidah dan ajaran agama Islam.
Masyarakat
Ternate tidak mengenal sistem “Pesantren” seperti halnya di Jawa. Cara
pengajaran tradisional dengan Sistem Pesantren mulai diterapkan di Ternate
pertamakali sekitar awal tahun 1980-an yakni dengan berdirinya pesantren
pertama di Tidore.
Pendidikan
Formal keagamaan pertamakali berdiri di Ternate pada tahun 1930-an dengan
berdirinya Sekolah Madrasah Islamiyah di Ternate. Sekolah Raudatul Adab yang
baru itu diasuh oleh seorang pendidik yang berasal dari pulau Ambon yang masih
berdarah arab yaitu : Almarhum Syech Bachmid. Dua sekolah yang didirikan
tersebut masing-masing setingkap dengan SD dan SMP. Kemudian berdiri pula Taman
Pendidikan Muhammadiyah yang dipelopori oleh Bongso Hi Bahdar.
STRUKTUR
KEPEMIMPINAN
Tiap
kelompok masyarakat pada zaman pra-Islam di Ternate mendiami suatu tempat
tinggal, yang mereka sebut dengan istilah Gam (Kampung), warganya terdiri dari
beberapa keluarga/kerabat yang dalam istilah daerah disebut dengan sebutan Soa
(Marga) yang dipimpin oleh seorang Fanyira, singkatan dari kata ‘Ngofa
ma-nyira’. (Baca artikel terkait; Stratifikasi Sosial Masyarakat Adat di
Ternate).
Selanjutnya
masing-masing kepala Soa dipimpin oleh seorang Momole (Kepala Kampung) yang
bergelar; Kimelaha, Fanyira dan Sangadji. Disamping sebutan untuk seorang
kepala Soa untuk tiap-tiap Soa, kata momole terambil dari kata “Tomole“ yang
mempunyai arti; Kesaktian atau Kehebatan, yakni orang yang menjadi pemimpin
karena mempunyai kelebihan dan kesaktian dalam berbagai hal.
Kelompok
masyarakat waktu itu masih menjalankan kepercayaan primitif, dan kadang-kadang
sering terjadi pertentangan dan saling bermusuhan dalam hal memperebutkan
hegemoni. Dengan demikian maka, di Ternate pada zaman pra-Islam terdapat 4
orang Momole. Seorang Momole diangkat berdasarkan kharisma yang ada padanya.
Setelah masuknya agama Islam, maka sistem pemerintahan Momole berubah. Keempat
Momole tersebut, bergabung dan dipimpin oleh seorang Kolano. Pada masa awal
sistem ini, struktur kepemimpinan masih sangat sederhana.
Bersamaan
dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Ternate, maka berkembang pula
sistem pemerintahan Kolano, seperti juga di Tidore, Bacan dan Jailolo. Ke-empat
Kolano ini kemudian membentuk konfederasi persekutuan antara empat kerajaan
tersebut di Taunane Pulau Moti (Moti Verbond), yang kemudian dikenal dengan
sebutan persatuan “Moloku Kie Raha”. Ternate waktu itu dipimpin oleh Kolano
ke-7, yang bernama Kolano Sida Arif-ma-Lamo yang dinobatkanpada tahun 1322 dan
memerintah selama 9 tahun (1322-1331). Dalam sistem ini, struktur
kepemimpinannya lebih disempurnakan. (F.S.A. de Clerq).
Pada
perkembangannya selanjutnya , sejak tahun 1486, disaat penobatan Kolano ke-19,
Zainal Abidin, yang pertama kali memakai gelar “SULTAN” yang memerintah dari
tahun 1486 – 1500, adalah merupakan masa peralihan dari bentuk Kolano ke bentuk
Kesultanan. Beliau diberi gelar ; Paduka Sri Sultan Zainal Abidin.
Dalam
struktur kepemimpinan kesultanan, dibentuk lembaga-lembaga tradisional.
Pelaksanaan tugasnya, Sultan dibantu oleh badan-badan dan pejabat seperti :
1.
KOMISI NGARUHA, (fungsinya disamakan dengan Dewan Pertimbangan Agung).
2.
BOBATO MA-DOPOLO, yaitu suatu Dewan Pembantu Sultan, anggotanya terdiri :
a.
Jogugu, sebagai wakil Sultan merangkap kepala Bobato. Jogugu adalah singkatan
dari ‘Jou Kolano ma-gugu’ yaitu wakil Sultan bidang Pemerintahan , yang
berkuasa dan bertanggung jawab atas seluruh kebijakan kesultanan tertinggi
dibawah Sultan, yang dijabat oleh bangsawan Senior di kalangan kerabat keluarga
terdekat Sultan. (disamakan dengan Perdana Menteri).
b.
Kapita Lao, yang bertanggung jawab dalam masalah yang bertalian dengan
peperangan, yang dijabat oleh bangsawan Senior di kalangan kerabat Sultan.
(disamakan dengan Panglima Armada Laut).
c.
Hukum Soa Sio, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab dan menangani
hal-hal yang berhubungan dengan urusan di dalam negeri. (disamakan dengan
Menteri Dalam Negeri).
d.
Hukum Sangadji, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab dan menangani
masalah-masalah luar negeri termasuk daerah takluk-kan. (disamakan dengan
Menteri Luar Negeri).
e.
Tuli Lamo, sebagai juru tulis kesultanan, (disamakan dengan Menteri Sekretaris
Negara).
3.
BOBATO NYAGI MOI SE-TUFKANGE, yaitu Dewan 18 yang anggotanya terdiri dari
delapan belas Orang. Mereka terdiri dari :
a.
Berasal dari Soa-Sio sebanyak 9 orang, yaitu :
1)
Pejabat berpangkat Kimelaha, sebanyak 5 orang.
2)
Pejabat berpangkat Fanyira, sebanyak 4 orang.
b.
Berasal dari Pejabat berpangkat Sangaji, sebanyak 9 orang, yang merupakan wakil
utusan dari wilayah seberang.
Dalam
struktur kepemimpinan tradisional di kesultanan Ternate, terdapat semacam Dewan
Rakyat, yang disebut dengan GAM RAHA, yang wakilnya terdiri dari pejabat
perwakilan keempat wilayah yang terdiri dari :
1.
SOA-SIO, (Komunitas masyarakat yang terdiri dari 9 kelompok Soa/distrik yang
berada di di wilayah pusat Kesultanan).
2.
SANGADJI, (Komunitas beberapa distrik di negeri seberang/wilayah taklukkan).
3.
HEKU, (Komunitas masyarakat Ternate yang wilayahnya mulai dari Ake Santosa
(sekarang Kelurahan Salero) ke utara hingga ke pulau Hiri termasuk Halmahera
muka).
4.
CIM, (Komunitas masyarakat dari Ake Santosa ke salatan hingga mencapai batas
desa Kalumata).
Gam
Raha berfungsi mensahkan calon sultan yang menurut tradisi ditunjuk atau
dipilih untuk dijadikan calon adalah dari anak-anak lelaki putera sultan,
(bukan putra tertua saja tapi bisa adik-laki2-nya). Jika dalam garis pertama
ini tidak ditemukan, maka bisa bergeser ke anak2 dari kakak sultan atau anak2
dari adik sultan (ponakan), bahkan bisa saja langsung lompat ke cucu sultan
(sesuai catatan sejarah silsilah para raja2 di Ternate). Meskipun telah ditetapkan adat, calon Sultan
itu harus disahkan oleh Gam Raha. Calon diajukan oleh pihak Soa-Sio dan
Sangaji, selanjutnya apabila calon tersebut ditolak oleh pihak Heku dan Cim,
maka harus diganti. Penobatan soerang Sultan (pemasangan mahkota pertama kali)
dilakukan oleh pejabat Kimalaha Marsaoly. Sistem ini merupakan keunikan dan
cirri khas “Demokrasi” ala Ternate, dimana sistem pemerintahan adalah berbentuk
Monarki tetapi pewaris kekuasaan dilakukan melalui pemilihan/penunjukan dari
“Gam Raha” berdasarkan kriteria tertentu. Tidak seperti biasanya setiap
kerajaan, putera tertua dari Raja dan Permaisuri mutlak harus menjadi pewaris
takhta.
Pemahaman
dan anggapan orang Ternate terhadap sultannya adalah seorang “Kolano” dalam
arti khusus. Kolano adalah seorang “Khalifahtur rasyhid wa tubaddir Rasul”,
dengan sapaan Syailillah yang menurut mereka adalah figur bukan sembarang orang
karena dalam diri seorang Kolano terdapat “nur-Muhammad” yang ditadzali ke
dalam jasad/tubuh seorang yang dipilihNYA yang dalam hal ini seorang sultan
yang masyarakat menyapanya dengan “Jou Kolano” atau “Jo-Ou“.
Pejabat
penting lainnya yang dalam kepemimpinan wilayah adalah seorang Salahakan.
Pejabat ini adalah merupakan perwakilan Sultan di daerah-daerah otonomi yang
jauh. Dalam sejarah Ternate, pernah diangkat Salahakan di Tabukan (Sangir
Talaud), Banggai (Sulawesi), Sula Taliabu. Selain Salahakan dikenal juga Utusan
Sultan yang dikirim ke perbatasan untuk menangani soal keamanan. Ia juga
bertugas sebagai koordinator para sangaji di daerah itu.
Diketahui
pernah ada tiga utusan yang pernah ditetapkan dalam kesultanan Ternate, yaitu;
Utusan Kayoa yang berbatasan dengan kesultanan Bacan, Utusan Galela untuk
mengamankan perbatasan dengan kesultanan Mindanao-Sulu, Utusan Dodinga untuk
mengawasi perbatasan wilayah darat dengan kesultanan Tidore di daratan pulau
Halmahera.
SEJARAH
PEMERINTAHAN
Dalam
sejarah kepemimpinan/pemerintahan di Ternate, selain dipimpin oleh para
Kolano/Sultan sebanyak 48 orang Raja Ternate, masyarakat Ternate pernah
diperintah oleh pejabat penguasa asing yang berkedudukan di Ternate, tercatat
sebanyak 20 orang pejabat Gubernur Portugis (1512-1574), 7 orang pejabat
sebagai Residen perwakilan Inggris di Ternate (1797-1815), 53 orang pejabat
Gubernur VOC untuk wilayah Maluku yang berkedudukan di Ternate, dan lebih dari
28 orang pejabat Residen Pemerintah Kerajaan Belanda yang juga berkedudukan di
Ternate. (Sumber; F.S.A. de Clerq).
Kronologis
Pemimpin Pemerintahan di Ternate selama 7 Abad lebih diuraikan pada artikel
sesudah ini.
Perjalanan panjang sejarah masyarakat Ternate
yang hingga kini telah berusia 758 tahun melalui dinamika dengan begitu
banyaknya proses asimilasi budaya dan campur tangan kekuasaan dari luar
terutama bangsa Eropa selain para Sultannya mengakibatkan kebudayan masyarakat
Ternate memiliki ciri khasnya tersendiri.
Kedatangan
orang Eropa ke berbagai tempat di belahan bumi ini membawa tiga Misi utamanya,
yaitu ; “Gold”, “Gospel” dan “Glory”. Warisan yang paling nyata hingga saat ini
adalah pada kawasan tertentu di Maluku Utara masih terdapat pemeluk agama
Nasarani sebagai bukti adanya Gospel yang didengungkan bangsa Eropa waktu itu,
sedangkan kehadiran Islam di daerah ini juga sebagai akibat adanya hubungan
dengan para pedagang dari bangsa Arab dan Persia maupun dari Gujarat.
Dinamika
yang dialami masyarakat Ternate hingga generasi sekarang melalui proses yang
panjang. Para pendahulu di daerah ini telah meletakan dasar, baik itu
menyangkut keyakinan beragama, maupun sendi-sendi moral dan etika serta
perilaku yang tercermin dalam adat-istiadat, tradisi dan budaya yakni tersirat
dalam institusi dan pranata sosial di masyarakat Ternate. Sebagai generasi saat
ini, wajarlah kalau memiliki minat dan keinginan di bidang kajian sejarah,
karena lebih banyak manfaat yang didapat daripada tidak mengetahuinya sama
sekali. (Baca artikel tentang kajian dimaksud pada posting sebelumnya; Sejarah
Tidak Pernah Berdusta. (www.busranto.blogspot.com – diolah dari berbagai
sumber)
*
Tulisan ini pernah dimuat pada Tabloid PARADA di Ternate pada Edisi ke-9,
tanggal 28 Juli 2002.